Sudah hampir dua bulan aku dan Kang Yasin tidak berhubungan badan lagi setiap malam selasa. Sebenarnya bukannya tidak bernafsu, tapi selalu ada saja alasan Kang Yasin menolak ajakanku. Alasan capek lah, ngantuk lah, malas lah. Bahkan dia menolakku secara halus ketika kucoba rangsang dia dengan sentuhan-sentuhan lembut di punggungnya yang berotot ketika dia sedang tidur dengan bertelanjang dada. Kang Yasin juga berusaha mengelak ketika kupeluk saat tidur, malah cenderung menghindar memilih tidur di dekat Kang Guntur jadi aku tidak bisa menggodanya lagi karena terhalang tubuh Kang Guntur. Kang Yasin selalu mengelak jika kuajak mandi bersama walaupun bersama anak santri lainnya di sungai sekalipun. Selain itu ia selalu menghindar jika hanya ada aku dan tak ada orang lain lagi, hingga aku tak memiliki kesempatan untuk mempertanyakan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Kurasakan di kamar pondok kami tetdapat skat yang tinggi menjulang hingga tidak dapat kuterobos lagi. Walaupun aku, Kang Yasin, dan Kang Guntur sekamar, namun kami seolah hidup sendiri-sendiri. Kang Guntur sibuk dengan kegiatan masjidnya seperti mengaji, sholat jamaah, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kang Yasin sibuk dengan kegiatan Merpati Putih dan urusan koperasi yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan aku sibuk dengan urusan sekolah serta persiapan tanding dan latihan sepak bola. Hanya obrolan yang penting-penting saja yang disampaikan. Tak ada lagi curhatan tentang pengalaman seks. Tak ada lagi persiapan perencanaan permainan seks yang kami tunggu-tunggu setiap malam selasa tiba.
Mas Dika entahlah bagaimana kabarnya. Sms ku tidak pernah dibalas, telfonku tidak pernah diangkat. Terakhir diangkat beberapa minggu yang lalu, namun pertanyaanku yang terlalu basa-basi seperti menanyakan kabar kemudian aku terdiam bingung mau ngomong apa, akhirnya ia langsung beralasan sibuk dan berjanji akan menelponku balik, lalu ia memutus saluran telpon kami. Selanjutnya ia tidak pernah menepati janjinya.
Aku seolah menjalani hidup baru lagi di pesantren ini. Sahabatku Kang Yasin sudah menjauh dariku. Walaupun ada hampir seratus santri dan anak panti namun aku tetap merasa sendiri di sini. Aku merasa takut. Rasa takutku kembali lagi seperti pertama kali aku masuk di pesantren ini. Takut jika aku tidak betah berada di tempat ini.
***
Pada suatu hari aku melihat Kang Yasin dan Mas Dika bercengkrama di lapangan balai desa di bawah pohon beringin. Dari kejauhan mereka saling berbicara dengan wajar. Ini adalah kesempatan bagus untuk ikutan nimbrung. Mungkin saja Kang Yasin menjadi lebih terbuka ketika ada Mas Dika di antara kita, jadi yang kami obrolkan bisa bercanda-candaan dan mengenang masa kita ngeseks bertiga dulu. Ku sapa mereka dari kejauhan sebelum kuhampiri mereka.
"Halo Mas Dika, Kang Yasin..."
Mereka menoleh ke arahku bersamaan lalu kulihat dari kejauhan mereka tersenyum. Tapi yang kutangkap adalah senyum kecut yang dibuat-buat. Entahlah semoga saja tebakanku salah, karena keterbatasan jarak pandang yang tidak begitu jelas melihat ekspresi muka seseorang dari jauh.
Aku sangat girang dan bersemangat bertemu mereka. Ketika dalam perjalanan kuhampiri mereka, kulihat mereka melanjutkan mengobrol tanpa memberi perhatian atas kedatanganku.
"Halo Mas Dika kok gak pernah kesini sih, aku kangen lo sama sampeyan Mas!" Godaku padanya.
Dia hanya tersenyum padaku. Senyum yang sangat kelihatan sekali jika di buat-buat. Ia melirik ke arah Kang Yasin kemudian kembali lagi ke arahku dengan tetap tersenyum yang dibuat-buat. Ekspresi itu membuatku sangat tidak nyaman. Kutoleh Kang Yasin ia segera tersenyum seperti Mas Dika ke arahku namun sedikit terlambat seper-sekian-detik yang sebelumnya terlihat berekspresi bete.
Sepertinya aku masuk tanpa permisi di ranah orang lain dimana kehadiranku tidak diharapkan. Tidak ada lagi guyonan konyol yang bikin kami bertiga ketawa terbahak-bahak. Hanya obroan garing dan kaku, sangat kaku yang aku rasakan. Tidak berselang lama Mas Dika mohon pamit pulang dengan macam-macam alasan. Disusul dengan Kang Yasin yang juga mau balik ke koperasi pondok katanya. Aku pula ikut Kang Yasin pulang ke pondok.
Saat balik ke pondok, Kang Yasin kutanyai ada apa yang terjadi, namun dia terlihat tidak jujur berusaha menutup-nutupi dan mengelak bahwa tidak terjadi apa-apa. Tak kupaksakan dia untuk jujur. Aku hanya cukup tahu bawa ketidak-jujuran Kang Yasin menguatkan persepsiku bahwa pasti ada apa-apa yang terjadi antara aku, Kang Yasin, dan Mas Dika. Mungkin mereka berdua saja yang tahu namun merahasiakannya padaku.
***
Pada hari sabtu siang aku dipanggil Ketua Yayasan panti asuhan untuk menghadap di ruang kantornya. Saat aku masuk ke kantornya ada Pak Lurah yang dulu mengurusku masuk ke panti asuhan ini. Aku duduk dengan sopan setelah dipersilahkan. Kedatangan Pak Lurah ternyata mau memberi tahuku bahwa Lik Bambang mendapat remisi dan bisa bebas setelah tiga tahun dipenjara karena berkelakuan baik dan dianggap dapat bermasyarakat kembali. Aku begitu bahagia mendengar kabar dari Pak Lurah, jantungku bergemuruh hingga memancing air mataku keluar. Suaraku terbata-bata karena tak dapat menahan haru melepas rindu yang akan kuluapkan ke Lik Bambang ketika ia bebas kelak. Aku sudah bisa membayangkan betapa harunya kami ketika setelah tiga tahun berpisah.
Pak Lurah juga memberitahuku bahwa Lik Bambang seminggu lagi akan bebas dan sudah mendapatkan pekerjaan di toko Koko Acong untuk menjadi kuli pikul beras di dekat pasar. Koko Acong bersedia memperkerjakan Lik Bambang katanya. Aku sangat terharu mendengarnya. Pak Lurah menceritakan padaku bahwa Lik Bambang juga rindu sekali denganku saat dipenjara. Dia bersedia menafkahi dan membiayai sekolahku hingga aku bisa mandiri setelah ia bebas nanti. Tangisku pecah terisak-isak setelah kudengar kabar bahagia dari Pak Lurah.
Karena Pak Lurah bertanggung jawab pada rakyatnya, maka ia memberi pilihan kepadaku akan diberi kebebasan untuk tetap tinggal di pesantren atau tinggal di rumah warisan nenek bersama Lik Bambang. Jika aku memilih tinggal kembali bersama Lik Bambang maka Pak Lurah akan mengurus semua prosedur kepindahanku kembali ke rumah, termasuk prosedur pindah sekolah. Aku hanya menganggukkan kepala karena isakan dan tangisku tak kunjung berhenti hingga dadaku sesak sampai aku tidak bisa bicara. Aku hanya menganggukkan kepala memberi tanda bahwa aku bersedia tinggal kembali bersama Lik Bambang di rumah warisan nenek.
Aku disuruh kembali ke pondok setelah aku mulai tenang. Namun air mataku tetap menetes dari mata dan hidung, hidungku memerah, mataku sembab, nafasku masih terisak. Aku keluar dari kantor menuju kamarku, dengan berjalan cepat serta berusaha menyembunyikan wajahku karena malu, takut ada yang melihat kalau aku habis menangis.
***
Waktu terus berjalan hingga satu minggu berlalu setelah datangnya Pak Lurah waktu itu. Hari minggu sore aku mengikuti latihan sepak bola di lapangan balai desa. Lari menggocek bola, suttle run, latihan oper bola dll. Kami semua tim santri sangat bersemangat latihan termasuk aku semangat yang diiringi dengan sebuah harapan besar. Berharap cepat bertemu Lik Bambang.
Kulihat dari arah jalan ada Mas Dika datang melihat latihan tim sepak bola pesantren. Ia duduk di bawah pohon beringin di bibir lapangan. Matanya selalu tertuju pada Kang Yasin. Begitu pula Kang Yasin sesekali melempar arah pandangan ke arah Mas Dika lalu tersenyum yang berusaha disembunyikan lalu kembali meneruskan gerakan latihan. Mereka tampaknya sedang kasmaran. Karena ekspresi mikro mereka berdua memang menunjukkan seperti orang lagi kasmaran namun hanya aku saja yang sadar tentang hal itu.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan hubungan terselubung mereka. Kini aku tidak berusaha menuntut lagi bagaimana hubungan persahabatan yang sudah kami bertiga jalin sebelumnya. Aku yakin mereka berdua sudah pacaran dan melakukan hubungan seksual yang rutin. Mereka pasti sudah saling mengikat hati dan menutup hubungan terlarang dengan gay manapun termasuk aku. Aku sadar itu. Aku tidak akan mengganggu lagi hubungan mereka. Aku juga tidak cemburu pada mereka. Sebelumnya aku memang sedikit sakit hati karena aku merasa dicampakkan begitu saja setelah hubungan persahabatanku bersama mereka berhasil kubangun. Namun kini aku berusaha ikhlas dan menerima kenyataan ini bahwa aku sudah bukan siapa-siapa mereka lagi.
***
Kami latihan sepak bola sangat serius. Hingga aku tidak sadar di dekat Mas Dika duduk ada Ketua Yayasan dan Pak Lurah serta Lik Bambang berdiri menyaksikan latihan kami. Jantungku mau copot saat aku melihat sosok Lik Bambang berdiri di sana, memandangiku menahan rasa rindu yang belum tercurah. Aku berteriak dan berlari ke arah Lik Bambang "Liikk....." Kupeluk dia rapat-rapat. Tangis kami pecah di bawah pohon beringin di bibir lapangan balai desa. Kami berpelukan rapat menangis haru melepas rindu. Setiap tetesan air mata kami seolah turut melunturkan rasa rindu yang tetamat sangat di dalam hati. Kami menangis berpelukan, walaupun dilihat banyak orang tetap tak kami hiraukan. Tubuh kami lemas luluh dalam pelukan haru kebahagiaan. Hingga tak kusadari semua orang termasuk tim sepak bola dan Mas Dika semuanya mendekat turut berempati, bahkan ada pula diantara mereka meneteskan air mata.
Setelah aku dan Lik Bambang cukup tenang, maka Ketua Yayasan menjelaskan semuanya yang sedang terjadi. Bahwa aku akan keluar dari Panti karena akan hidup dan diasuh Lik Bambang pamanku sendiri. Kulihat dari mereka semakin banyak yang meneteskan air mata karena akan menghadapi kepergianku. Ketua Yayasan mempersilahkan aku mengemasi barang dan memperbolehkan aku pulang sore itu juga. Kupeluki semua teman-teman timku satu persatu. Banyak wejangan dari mereka agar aku bisa datang kembali untuk membantu tim sepak bola pesantren. Mereka juga berpesan agar aku sering-sering main kesini melihat pertandingan, ikut latihan, dan ikut tanding. Mereka sangat terbuka dan berharap akan kedatanganku kelak. Kami terus berpelukan dan menangis sedih melepas kepergianku.
Kucuri pandang ke arah luar gerombolan, di sana ada Kang Yasin dan Mas Dika berdiri sendiri di luar serombolan tim yang bergantian memelukiku. Tampaknya Kang Yasin sangat tidak siap menghadapi situasi ini. Ekspresinya tampak sangat sedih dan terpukul di antara teman-temanku yang lain. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak tumpah dengan mengatur nafasnya yang sesak namun selalu berpaling dari pandanganku seolah tidak mau melihat sosokku yang membuatnya bersedih. Mas Dika yang berdiri di samping Kang Yasin tampaknya menguatkan hati Kang Yasin dengan mengelus-elus punggung Kang Yasin. Semuanya telah kupeluk satu persatu tanda perpisahanku dengan teman-temanku. Giliran Kang Yasin dan Mas Dika yang berdiri di luar gerombolan. Kuhampiri mereka. Air mataku ku usap kering dari wajahku, dan aku harus menghadapi situasi ini. Kukuatkan hatiku melangkah gagah menuju arah Kang Yasin. Tampaknya ia tidak siap ketika aku menghampirinya. Namun ia tetap berdiri salah tingkah. Ia sibuk membuang muka sambil menahan tangisnya melihat ke arah sana sini dan tidak berani melihatku yang semakin mendekatinya. Aku berdiri tepat dihadapannya.
"Kang Yasin aku mau pulang, terima kasih untuk semuanya." Entah energi dari mana yang bisa menguatkan aku berbicara lantang seperti itu dihadapan Kang Yasin. Kuberikan tanganku untuk berjabat tangan dengannya. Ia menerima jabat tanganku. Kami sama-sama meremas jabat tangan dengan kuat serta mengocok salam ke atas ke bawah dengan mantap. Terus kepandangi matanya, namun ia tetap tidak berani melihat mataku dan terus membuang pandangan. Dadanya naik, bibirnya menutup rapat sesekali bola matannya mengangkat ke atas menahan sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh. Aku ingin sekali memeluknya seperti aku memeluk Lik Bambang tadi. Namun kuurungkan niatku karena takut melukai perasaan pacar barunya yang berada disampingnya yang terus menguatkan hati Kang Yasin dengan mengelus-elus punggungnya. Kulepaskan jabat tanganku dengan Kang Yasin secara perlahan hingga kurasakan sentuhannya terlepas semua hingga jari-jari. Aku langsung merasakan suatu perpisahan untuk selamanya dengan Kang Yasin dengan perasaan yang menggantung tak sempat terucapkan. Mungkin perasaanku sama seperti yang Kang Yasin rasakan juga.
Kini aku berhadapan dengan Mas Dika. "Mas Dika aku mau pulang, aku minta maaf ya." Kuberikan tanganku untuk berjabat tangan dengannya. Ia menerima jabat tanganku. Aku tersenyum, Ia malah menangis sambil menggeleng-gelengkan kepala memberi tanda bahwa aku tidak punya salah padanya. Tangan kirinya yang sebelumnya selalu mengusap-usap punggung Kang Yasin sekarang malah menutupi mulut dan hidungnya menahan tangisnya agar tidak pecah dihadapanku. Matanya terus mengeluarkan air mata. Ia memberi kode ingin memelukku sebagai tanda perpisahan, namun kutolak karena aku menghargai perasaan Kang Yasin. Kulepaskan tanganku dari genggaman tangannya.
Kumundurkan langkahku beberapa langkah, kulihat mereka berdua di hadapanku yang sedang menahan tangis atas kepergianku. Kupandangi terus mereka berdua. Mungkin momen ini adalah momen yang terus aku ingat selama-lamannya. Ku balikkan badanku melangkah menuju Lik Bambang lalu kami menuju ke pondok berjalan kaki dengan bergandengan tangan untuk berkemas pulang.
***
Tak kusangka aku sudah kembali ke rumah hidup berdua dengan Lik Bambang. Rumah yang kotor penuh debu dengan perabotan seadanya yang juga penuh debu. Kami bekerja sama membersihkan rumah. Lik Bambang menyapu lantai dan langit-lagit rumah yang penuh sarang laba-laba. Aku yang memasak beras dan lauk pauk sumbangan sembako persediaan sebulan dari Pak Lurah yang baik hati. Kami saling bercengkerama sambil melepas rindu seraya sibuk membersihkan seisi rumah. Kulihat sosok Pak Lik yang tambah tua, makin hitam dan tambah kurus mungin terlalu banyak pikiran waktu di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun semakin ia berusia namun otot-ototnya yang kokoh dan gempal bekas latihan rutin fitness di tempat fitness murahan di RT sebelah masih menonjol konturnya walaupun tidak segagah sebelum ia dipenjara.
gambar illustrasi, Sumber: Twitter @KuliLovers
Setelah rumah bersih dari debu, kami beristirahat di lincak depan rumah. Lik Bambang kubawakan wedang kopi hitam dan seceret air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering akibat terkuras tenaganya karena lelah sehabis membersihkan rumah. Kami berdua berbincang dengan santai. Ia berbagi cerita kehidupannya waktu dipenjara. Begitu pula aku juga bercerita tentang kegiatanku saat di panti asuhan. Ternyata kami sama-sama merindukan hidup sederhana seperti ini. Kami saling bercerita tentang teman-teman kami termasuk cerita yang sedikit rahasia akhirnya kami ketahui masing-masing. Ia bercerita panjang lebar bahwa ia juga pernah ngentot dengan teman-temannya di penjara. Begitu pula denganku, aku juga menceritakan kisahku dengan Kang Yasin dan Mas Dika pada Lik Bambang. Lik Bambang kaget dan tidak percaya kalau aku ternyata bisa jadi top, karena menurutnya aku berposisi jadi bot selamanya saat ia entot dulu. Aku tersenyum rendah hati karena merasa disanjung.
gambar illustrasi, Sumber: Twitter @KuliLovers
Selanjutnya kutawarkan dia "Apa mau dicoba Lik?" Tantangku.
"Ayok! Sebelumnya sih aku sudah pernah jadi bot saat main sama temanku dipenjara. Ternyata gak kalah nikmatnya ya Han!" Ungkapnya jujur. Lalu kita saling tertawa lepas. Tak ada lagi batasan di antara kita. Lik Bambang pernah khawatir kalau aku akan terjerumus menjadi gay karena ia memperawaniku saat aku masih bocah, namun kini ia tidak lagi mengkhawatirkan tentang hal itu. Ia percaya padaku bahwa aku bisa bertanggung jawab atas takdirku yang diciptakan seperti ini sama Tuhan. Aku dianggap sudah bisa memilih jalanku dan terbuka walaupun dengan Lik Bambang saja. Menurutku jalan hidup yang kupilih ini merupakan pilihan yang tepat karena jujur terhadap diriku sendiri hingga membuatku bahagia tidak berusaha menutup diri atas orientasi seksual yang katanya orang dianggap menyimpang. Setidaknya Lik Bambang menjadi tempat curahan hatiku serta tempat melampiaskan hasratku yang kupercaya, sehingga aku tidak merasa hidup sendirian di dunia ini.
***
Malam itu aku dan Lik Bambang ngentot untuk pertama kali setelah tiga tahun berpisah. Saat itu Lik Bambang memintaku untuk agar aku menjadi top nya. Ia merasa bersalah saat ia memperawaniku saat itu, jadi kini ia berbalas budi dengan bersedia menjadi pasangan bottom ku. Sudah kujelaskan bahwa tidak ada yang salah dalam hubungan ini. Kujelaskan padanya orientasi seks ku menjadi gay sejak aku mulai baligh bahkan sebelum aku diperawani aku sudah mempunyai ketertarikan pada laki-laki berotot seperti Lik Bambang salah satunya. Jadi dia tidak salah. Jikapun aku straight pasti akan kutolak bahkan kulawan Lik Bambang sekeras apapun dia untuk melindungi diriku dari pelecehan seksual. Namun aku hanya mengikuti naluriku saat itu.
Setelah kami pemanasan, kemudian kita melakukan penetrasi. Saat akan melakukan penetrasi, ia dengan ikhlas memberikan pantatnya padaku untuk kunikmati sepuasnya katanya. Kubuka pantatnya yang hitam dengan ditumbuhi bulu di sekelilingnya. Kujilati pantatnya hingga Lik Bambang menggelinjang. Ia sabar menikmati permainanku sambil terus mengocok kontolnya. Kontolku siap berkandang kukocok sebentar untuk memaksimalkan tegangan. Kupepetkan di bibir duburnya lalu bless... hanya sedikit tekanan tanpa dipaksa kontolku sudah masuk seluruhnya. Ia mengerang menikmati.
"Ukh.... hemmm... aku bisa merasakan kontolmu di tubuhku Han. Tapi sekali lagi Pak Lik minta maaf karena Pak Lik tidak bisa memberikan keperawananku padamu Han." Dia menyesal sambil menikmati desakan kontolku di silitnya.
"Hmmm... sudah kubilang Lik. Lik Bambang tidak salah. Kita kembali hidup bersama saja aku sudah senang. Gak usah memikirkan keperawanan Lik, aku sudah pernah memperawani dua orang. Kini yang kuinginkan bukan keperawanan Lik, aku cuma ingin hubungan kita bisa lebih dari sekedar keponakan dan paman, bisa lebih dari hubungan ayah dan anak. Aku ingin hubungan kita bisa saling menerima dan memberi dengan ikhlas. Aku menerimamu apa adanya Lik."
Kukecup punggung dan lehernya. Ia menoleh ke belakang lalu kucipoki mulutnya dengan mesra. Tanganku memeluk tubuhnya dari belakang laku meraba-raba puting serta perutnya yang sixpack. Mulai kumaju mundurkan kontolku menusuki pantatnya dari belakang. Persenggamaan malam itu adalah persenggamaan paling romantis yang baru pertama kali kurasakan. Kita seolah menjadi pasangan paling bahagia sedunia.
gambar illustrasi, Sumber: Twitter @BudakBangor92
***
Tiga tahun kemudian.
***
Sudah tiga tahun kami menjalani kehidupan selayaknya suami istri. Lik Bambang tidak memikirkan akan menikah lagi atau main serong dengan waria atau teman fitnessnya di kampung karena kebutuhan biologisnya merasa tercukupi. Begitu pula aku tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan karena kebutuhan biologisku sudah terpenuhi, walaupun sebenernya Lik Bambang membolehkan aku pacaran dengan perempuan lain. Kami masih sering melakukan hubungan seksual bersama selayaknya suami istri. Terkadang aku menjadi bot terkadang menjadi top. Kita selalu berganti peran sesuai kesepakatan kita. Namun hubungan ini yang kami bangun layaknya hubungan suami istri, hanya kami saja yang mengetahui. Para tetangga tidak ada yang curiga karena sikap kita memang seperti paman dan keponakan pada umumnya. Di mata masyarakat Lik Bambang dianggap sangat sayang dan mengayomi aku yang baru lulus SMA, bahkan terlihat seperti ayah dan anak kandung. Hal tersebut malah menguntungkan hubungan kami karena masyarakat menganggap bahwa Lik Bambang sudah tobat dan mereka percaya bahwa Lik Bambang tidak mengulangi kesalahanya yang dulu seperti menghamili anaknya sendiri. Kini Lik Bambang benar-benar diterima di masyarakat. Sudah tidak ada lagi stigma yang melekan padanya.
Sekarang aku tidak meneruskan kuliah setelah lulus SMA dan memilih bekerja untuk membatu perekonomian kami. Aku bekerja apapun yang kubisa mulai bekerja di warung makan, di warnet, bahkan jadi pelayan di cafe semua kujalani. Semua penghasilanku dan Lik Bambang, aku handle dengan baik dan dipergunakan bersama dengan bijak. Aku benar-benar merasa bahagia walaupun hidup sederhana.
***
"Aw... yesh... hemmm... uhhh.... shh.... akh.... keluarin... di... dalem aja Lik!" Pintaku mengeluh memohon seraya kontol Lik Bambang terus menggenjot pantatku.
"Hah… hah... hah... hah... hah... hah... aku mau ke.... luar Han... t.. terima ini...hh haah..."
Crooot... crooot... croott... crooot... crooott... croot... croott... Lik Bambang menyemburkan saripati lelakinya di dalam tubuhku.
"Uhhh... kontolmu enak tenan Lik, sampean memang joss. Luar biasa!" Pujiku sambil menikmati pejuhnya yang meleleh keluar dari silitku, saat dicabut kontolnya pantatku terasa licin.
Kami berciuman sesaat, lalu Lik Bambang beranjak duduk di bibir ranjang meraih dua botol bir bintang besar di meja dekat ranjang. Satu botolnya dibagikan padaku kemudian kami tos botol untuk sedikit bersenang-senang malam itu karena sapi milik Pak Lurah yang dipelihara Lik Bambang sudah lahir kembar. Lik Bambang diberi upah satu anak sapi. Namun selanjutnya dia harus berusaha merumput lebih banyak karena sapi yang dirawatnya bertambah banyak menjadi 3 ekor. Induk dan satu anak sapi milik Pak Lurah, satu anak sapi lainnya milik Lik Bambang. Kami bersenang-senang malam harinya setelah sapi melahirkan anak kembar dengan selamat. Kami ngentot beberapa ronde lalu minum bir bintang beberapa botol.
Setelah meneguk bir bintang lansung dari botol, ia meringis menikmati kesegaran bir dengan cita rasa dewasa. Ia letakkan kembali botol birnya di meja dekat ranjang. Dengan keadaan telanjang bulat penuh bercak pejuh yang mengering di perutnya, lalu ia memasang sarung dan jaket tebal babebo menyambar rokok dan senter. Ia ijin padaku mau melihat keadaan sapinya di kandang Pak Lurah sekitar seratus meter dari rumah. Kemudian ia menyentil tititku yang sudah lemas dari tadi dan penuh lumeran pejuh dilanjutkan mengejup bibirku tanda akan mengakhiri permainan malam itu.
Kuletakkan botol bir di meja lalu memasang sarung untuk bersiap tidur. Kutengok sebentar henfonku ternyata ada notifikasi permintaan pertemanan dan pesan pribadi di facebookku. Saat kubuka ternyata ada foto Mas Dika menggunakan helm ink dengan nama facebook DickHa Fernando. Lalu satu pesan pribadi yang ternyata juga darinya.
"Halo Han gimana kabarmu? Semoga sehat selalu. Akhirnya kita ketemu juga di FB. Ada yang ingin bercerita panjang lebar padamu Han. Sebenernya aku dan Kang Yasin sudah lama pacaran semenjak kita main bertiga saat itu. Namun sekarang aku sudah kehilangan kontak dengan Kang Yasin. Dia diusir dari pesantren karena ketahuan cipokan denganku di bawah pohon beringin di lapangan dan banyak saksinya. Akhirnya sebelum diusir dia kena hukum cambuk 20 kali. Dia pergi minggat tanpa pamitan denganku. Henfonnya sudah tidak bisa kuhubungi lagi. Tampaknya dia mengadu nasib ke kota. Kamu boleh sekali kok Han main ke rumahku kapanpun. Aku ingin sekali kita bertemu lagi karena banyak sekali yang ingin ceritakan."
Ekspresiku datar setelah membaca pesan pribadi darinya di facebook. Aku kembali ke notifikasi permintaan pertemanan baru. Terdapat dua kolom bertuliskan "terima" dan "tolak" di samping tulisan Dickha Fernando. Yang kupilih adalah "tolak".
Kukenakan sarungku lalu tidur berharap kehidupanku esok akan lebih baik dari hari ini. Kehidupan yang kujalani bersama Lik Bambang.
TAMAT.
Baca "Cerita Johan" Dari Awal: Keperawananku Direnggut Lik Bambang (Cerita Johan) #1
Baca Juga "Kisah Sepasang Remaja Yang Biseksual" sebuah kisah yang menceritakan perjalanan sepasang sahabat remaja mencari jati dirinya: Cara Ngentot Sepasang Sahabat SMA (Kisah Remaja Biseks) #1
Baca Juga "Kisah Gay Indonesia Era 80an" sebuah kisah yang menceritakan kehidupan kaum gay di desa terpencil yang masyarakatnya agamis berlatar tahun 1980-an: Nelayan Kampung Terjerumus Dalam Dunia Gay (Kisah Gay Indonesia Era 80an) #1
Baca "Cerita Johan" Dari Awal: Keperawananku Direnggut Lik Bambang (Cerita Johan) #1
Baca Juga "Kisah Sepasang Remaja Yang Biseksual" sebuah kisah yang menceritakan perjalanan sepasang sahabat remaja mencari jati dirinya: Cara Ngentot Sepasang Sahabat SMA (Kisah Remaja Biseks) #1
Baca Juga "Kisah Gay Indonesia Era 80an" sebuah kisah yang menceritakan kehidupan kaum gay di desa terpencil yang masyarakatnya agamis berlatar tahun 1980-an: Nelayan Kampung Terjerumus Dalam Dunia Gay (Kisah Gay Indonesia Era 80an) #1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar